Jumat, 29 Mei 2009

KEDAULATAN HUKUM, BUKAN KEDAULATAN RAKYAT


Akhir-akhir, menjelang pemilihan umum baik dalam kampanye oleh organisasi politik peserta pemilu maupun dalam pertemuan-pertemuan atau acara informal oleh pemuka-pemuka partai, pejabat-pejabat pemerintah sepertinya istilah demokrasi dan kedaulatan rakyat menjadi sebuah istilah yang populer.

Bahkan sangking populernya, pemilihan umum itu disebut sebagai pesta demokrasi, pesta rakyat yakni sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Benarkah pemilihan umum itu pesta rakyat?
Apa itu pesta?
Layakkah keadaan rakyat Indonesia pada saat ini untuk berpesta.?

Jika pesta itu suatu keadaan yang penuh keceriaan, kegembiraan, banyak makanan yang baik dan enak-enak sepertinya tak layak pemilihan umum disebut sebagai pesta rakyat, karena tidak sedikit rakyat Indonesia saat ini dalam keadaan papa, duka dan lara. Tidak sedikit rakyat Indonesia yang busung lapar hingga mati kelaparan. Bahkan apabila iring-iringan atau kompoi, germbolan para juru kampanye melirik ke kiri dan kanan jalan tentulah mereka akan melihat orang-orang pincang, kurus, kumal dengan tangan menengadah mengharapkan belas kasihan, “gepeng”, gelandangan dan pengemis.

Sepertinya adalah ironi apabila pemilihan umum disebut pesta rakyat. Jikalau itu masih disebut pesta maka itu bukan pesta rakyat, lebih layak disebut......
Pesta penjahat,,,,ehhh......salah pejabat

Untuk itu sepertinya perlu dilakukan kilas balik tentang pengertian, hakekat dari demokrasi dan kedaulatan itu.Keadaan ini perlu dilakukan agar jangan sampai salah kaprah, baik dalam pengucapan maupun dalam pelaksanaannya.
Jangan pula dijadikan tebar pesona bagi rakyat.

Adalah Jean Bodin yang hidup sekitar tahun 1530-1595 seorang ahli negara berkebangsaan Prancis dianggap sebagai orang pertama yang membahas persoalan kedaulatan. Dalam bukunya yang berjudul “Six livres de la Republique” Jean Bodin telah memasukkan “kedaulatan” itu kedalam ajaran politik.

Dalam bahasa Prancis kedaulatan itu disebut “souverainite” , bahasa Belanda disebut “souvereiniteit”, Inggris disebut “sovereignite, Italia “sovranus”, Latin “superanus”, yang berarti “supremasi” dalam pengertian di atas dan menguasai segala-galanya.

Jadi pengertian kedaulatan itu mendekati, kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan yang tidak berasal dan tidak dibawah kekuasaan lain.

Selanjutnya tentang kedaulatan ini ada 4 (empat) teori yang terkenal yakni :

1.Teori Kedaulatan Tuhan (Goddelijke souvereiniteit)

Teori kedaulatan Tuhan ini berkembang pada abad pertengahan antara abad ke V s/d abad XV. Menurut teori ini bahwa pemerintah atau negara memperoleh kekuasaan yang tertinggi itu dari Tuhan.Menurut teori ini, dunia beserta segala isinya adalah ciptaaan Tuhan.
Teori ini dianut antara lain seperti Augustinus dan Thomas Aquinas.

Kedaulatan yang berasal dari Tuhan itu dipegang oleh raja yang merupakan wakil Tuhan, atau raja itu dianggap Tuhan yang menjelma didunia ini.Oleh karena itu kekuasaan raja tidak boleh ditentang oleh rakyatnya, karena membantah perintah raja berarti menentang perintah Tuhan.
Di dunia barat teori Teokrasi ini diterima oleh umum hingga zaman Renaissance ( abad ke XVI).
Meskipun sejak zaman renaissance maupun sesudah zaman renaissance ada orang-orang yang membentangkan teori yang terlepas dari pengaruh kepercayaan kepada ke-Tuhan-an, namun hingga saat ini masih ada juga orang yang mendasarkan kekuasaan hukum atas kepercayaan pada ke-Tuhan-an. Keadaan ini misalnya masih dapat dilihat bagi penganut Katolik Roma dan orang-orang yang beragama Islam.
Teori kedaulatan Tuhan ini terbagi menjadi dua tahap yakni teori klasik dan modern.
Kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan sebagaimana disebut diatas seperti raja yang sewenang-wenang menimbulkan keragu-raguan yan mendorong lahirnya aliran teori kedaulatan Tuhan yang modern.

2.Teori Kedaulatan Rakyat. (Volkssouvereiniteit)

Menurut teori ini, negara memperoleh kekuasaan dari rakyatnya, bukan dari Tuhan atau dari Raja. Penganut teori ini tidak sependapat dengan teori kedaulatan Tuhan, dan mengemukakan kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh kedaulatan Tuhan.
Apabila kedaulatan raja itu berasal dari Tuhan seharusnya Raja memerintah rakyat dengan adil (sesuai kehendak Tuhan, namun kenyataannya raja-raja bertindak sewenang-wenang seperti Raja Louis XIV.Jika kedaulatan Raja itu berasal dari Tuhan mengapa dalam suatu peperangan seorang raja mengalahkan raja yang lain.

Kenyataan dari adanya raja yang sewenang-wenang dan peperangan antara kerajaan seperti tersebut menimbulkan keragu-raguan yang mendorong ke arah timbulnya alam fikiran baru yang memberi tempat kepada pada pikiran manusia (renaissance)

Alam pikiran baru ini dalam bidang kenegaraan melahirkan suatu faham baru, yaitu teori kedaulatan rakyat. Paham inilah yang merupakan reaksi terhadap teori kedaulatan Tuhan dan teori kedaulatan Raja dan kemudian menjelma pada revolusi Perancis, sehingga kemudian dapat menguasai seluruh dunia dalam bentuk “mythos abad ke XIX yang memuat paham kedaulatan rakyat dan perwakilan.

Penganut teori kedaulatan rakyat ini antara lain JJ.Rosseau, Montesquiew, dan Jhon Locke.Dari ketiga sarjana tersebut yang paling terkenal adalah Montesqiuew dengan ajaran pemisahan kekuasaan negara yang oleh Immanuel Kant disebut “trias polica”.

3.Teori Kedaulatan Negara.(Staatssouvereiniteit)

Teori kedaulatan negara ini lahir pada bagian kedua abad ke XIX, dan ada dua ahli hukum bangsa jerman yang termashur sebagai penganut teori ini yakni Paul Laband (1838-1918), George Jellineck (1851- 1911)
Bahwa menurut teori ini negara dianggap sebagai satu kesatuan ide yang paling sempurna. Negara adalah satu hal hal yang tertinggi, yang merupakan sumber dari segala kekuasaan. Oleh karena itu negara (dalam arti gouvernment = peemrintah) dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty and property dari warganya.Warga negara bersama-sama hak miliknya itu, bila perlu dapat dikerahkan untuk kepentingan kejayaan negara.Mereka taat pada hukum bukan karena perjanjian melainkan karena kehendak negara.

4.Teori Kedaulatan Hukum (Rechtssouvereiniteit)

Teori ini dipelopori oleh Huge Krabbe seorang mahaguru dari Universitas Leiden (1857-1936)
Menurut teori ini kekuasaan ini bersumber dari hukum.Hukumlah yang menjadi sumber kedaulatan, hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum seseorang, mempunyai kekuasaan (gezag).Jadi hukum merupakan sumber kedaulatan.Kesadaran hukum inilah yang membedakan mana yang adil dan mana yang tidak adil.

Bahkan hukum itu tidak tergantung pada kehendak manusia, yaitu hukum adalah sesuatu dengan kekuatan memerintah yang terdapat dalam perasaan hukum manusia.
Menurut teori ini, bukan hanya manusia dibawah perintah hukum, negara pun dibawah perintah hukum.

Selanjutnya marilah kita melihat menurut dasar dan undang undang dasar negara (konstitusi) teori mana yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara tertulis dalam konstitusi negara terminologi kedaulatan ini terdapat dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (2) yakni :

Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan”
Rumusan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 itu tidak mengatakan “kedaulatan rakyat” melainkan “kedaulatan adalah ditangan rakyat”.

Kedua kalimat tersebut menurut hukumnya mempunyai arti yang berbeda satu dengan yang lain.Kalimat kedaulatan adalah ditangan rakyat lebih menunjukkan posisi dan atau keberadaan atau letak kedaulatan itu sendiri, bukan pada jenis kedaulatan.

Jika pembuat undang-undang dasar bermasud pada kedaulatan rakyat tentulah hal itu tidak membuat rumusan seperti tertera pada rumusan pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Maka untuk mengetahui kedaulatan yang dianut oleh negara Republik Indonesia ini perlu dan harus melihat kepada dasar negara yang menempati urutan paling tinggi yakni Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang merupakan dan menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Dengan memperhatikan urutan dari sila yang terdapat dalam Pancasila sebenarnya dapat terlihat bahwa maka kekuasaan tertinggi atau sumber dari kedaulatan/kekuasaan itu adalah Tuhan, yakni Tuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama.

Namun apabila secara tersurat negara ini disebut menganut teori kedaulatan Tuhan barangkali akan timbul banyak perselisihan yang sulit ditemukan kata sepakat, karena dinegara ini ada dan diakui keberadaan berbagai agama.Barangkali persoalannya identik ketika merumuskan Pancasila dengan adanya 7 kata dalam sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Padahal keadaan tersebut tidak seharusnya terjadi jika semua pemeluk agama memahami dan melaksanakan hukum agamanya.

Barangkali dalam rumusan pasal 1 ayat 2 UUD 1945 (tanpa amandemen) mencerminkan betapa arif dan bijaksananya para pendiri negara ini khususnya tim penyusun Pancasila dan UUD 1945 (tanpa amandemen).Pancasila dan UUD 1945 mampu merangkul setiap orang yang mengaku dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena secara tekstual tidak menyebut salah satu agama tertentu.

Selanjutnya kembali tentang kedaulatan.
Yang menjadi inti atau pokok persoalan tentang lahirnya teori mengenai kedaulatan ini adalah ‘apa yang menjadi dasar atau sumber tertinggi dari seseorang atau negara untuk melakukan suatu tindakan.
mengenai hal itu, ada yang mengatakan dasarnya atau sumbernya Tuhan, raja, rakyat dan hukum.

Jika penganut teori kedaulatan yang lain selain Tuhan atau hukum ditanya; darimana atau siapa yang membuat rakyat itu? darimana atau siapa yang membuat negara itu? Barangkali jawabannya akan berputar-putar dan tidak ada ujungnya.

Apabila disebut kedaulatan Tuhan barangkali akan ada titik temunya, apabila rakyat atau suatu komunitas sepakat pada satu agama atau pada satu ajaran agama.

Barangkali teori kedaulatan Tuhan tidak akan diterima dalam suatu komunitas yang tidak menganut satu agama atau tidak mempunyai satu paham tentang ajaran agama.

Dengan memperhatikan latar belakang lahirnya teori kedaulatan rakyat yakni adanya raja yang sewenang-wenang, tidak memerintah rakyat dengan adil sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan, maka dapat ditarik pelajaran antara lain :

1. Rakyat pada saat itu bukan menentang teori kedaulatan Tuhan yang merupakan sumber dari kedaulatan raja, melainkan menentang sifat dan tindakan raja yang sewenang-wenang, tidak adil itu.

2. Salah satu kehendak atau sifat Tuhan adalah adil.

Sehingga dengan demikian dapat ditarik pelajaran atau pemahaman inti dari persoalan adalah keadilan, sikap dan perilaku yang adil. Setiap orang harus adil, negara harus adil.
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan darimana keadilan itu, apa sumber keadilan itu. Jawaban paling tinggi tentulah pada Tuhan. Namun kembali kepada plurlisme atau keberagaman agama (tidak hanya satu agam), tidak ada kesepahaman akan ajaran agama itu sendiri. Oleh karena hal itu kemungkinan tidak akan ada kesamaan faham atau kesepakatan akan keadilan yang didasarkan pada agama. Padahal sesungguhnya hal itu tidak perlu terjadi bila setiap agama yakin pada Tuhan atau Allah yang satu dan sama.

Barangkali, persoalan keadilan baru dapat berujung atau akan ada kesepahaman bagi setiap pemeluk agama-agama apabila pertanyaan keadilan dijawab dengan “HUKUM”

Keberadaan hukum pada urutan tertinggi dibawah Tuhan sebenarnya tercermin dari urutan Pancasila yakni “kemanusian yang adil dan beradab” (sila kedua), kerakyatan yang dipimpin oleh himat kebijaksanaan dalam permusyarwaratan/perwakilan” (sila keempat) dan “keadilan sosial” ( sila kelima)

Tentang kedaulatan apa yang dianut oleh negara ini sesungguhnya dapat terjawab dengan memperhatikan rumusan sila ke-4 dari Pancasila. Pimpinan rakyat, yang memimpin rakyat dalam segala aktifitas, “kerakyatan” adalah HIKMAT.HIKMATLAH yang menjadi sumber kedaulatan.KEDAULATAN HIKMAT.

HIKMAT itu dekat dengan HUKUM, HUKUM itu dekat dengan kebenaran dan keadilan, keadilan dan kebenaran itu lebih dekat pada TUHAN, ALLAH.
Maka sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (tanpa amandemen) , Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah menganut KEDAULATAN HUKUM.

Kedaulatan yang berada ditangan rakyat itu adalah KEDAULATAN HUKUM, bukan kedaulatan rakyat bukan pula kedaulatan negara.

Tentang kedaulatan hukum ini juga sebenarnya dapat terlihat dengan jelas apabila memperhatikan dengan saksama pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Sehingga dengan demikian sangat jelas, yang menjadi sumber atau dasar suatu bangsa, masyarakat, manusia untuk merdeka adalah HAK.Sedangkan hak itu adalah wewenang yang diberikan oleh hukum atau bersumber dari hukum.

Apabila penjajahan itu merupakan suatu keadaan dimana sekelompok menusia atau masyarakat atau seseorang dirampas hak nya.Perampasan hak tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan, keadaan yang tidak layak dan tidak baik bagi manusia dan tidak sesuai dengan perikeadilan, keadaan yang bertentangan dan tidak sesuai dengan sifat dan keadaan yang adil, tidak adil, bertentangan dengan hak dan kewajiban.
Perikemanusian atau perikeadilan semuanya adalah suatu keadaan yang diatur atau ditentukan oleh hukum.

Selanjutnya pada alinea ke-4 Preambule UUD 1945 itu ditegaskan tentang negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila adalah dasar negara dan dalam hierarkhi Pancasila menduduki posisi tertinggi. Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum.

Maka oleh karena itu negara Republik Indonesia, setiap orang dan seluruh rakyat Indonesia harus tunduk dan taat pada Pancasila yakni yang merupakan sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian hukumlah sumber kedaulatan. Keadaan ini sejalan dengan konsep negara modern, negara berdasar atas hukum (rechtsstaat).

Pancasila itu tidak dibuat atau bersumber dari rakyat.Pancasila itu tidak dibuat oleh para pendiri negara ini. Pancasila itu bukan buatan manusia. Bung Karno sendiri tidak pernah menyebut dirinya yang membuat atau menciptakan Pancasila. Pancasila itu digali dari bumi nusantara oleh para pendiri pahlawan pejuang dan pendiri negara Republik Indonesia ini termasuk didalamnya Bung Karno.

Jadi tak seorang pun manusia membuat atau menciptakan hukum. Manusia hanya dapat menemukan hukum. Hukum tidak tergantung pada manusia.

Manusia, rakyat boleh berubah dan boleh bertindak dholim, tetapi hukum tetap dan pasti adil. Manusia, rakyat boleh salah tetapi hukum pasti dan selalu benar. Manusia, rakyat boleh sewenang-wenang, tetapi hukum pasti bijaksana dan adil. Manusia, rakyat boleh berubah-ubah, tetapi hukum tetap dan pasti. Manusia boleh mati, tetapi hukum tidak akan pernah mati.
Dalam dunia advokat tidak asing, "fiat justitia ruat coelum", sekalipun langit runtuh, hukum tetap tegak.

Maka apabila kedaulatan itu adalah kedaulatan rakyat, maka suatu saat atau suatu ketika rakyat itu berpeluang untuk berbuat sewenang-wenang yang mungkin sebagai akibat dari salah satu sifat atau kecenderungan manusia itu sendiri, ingin dan ingin............lagi.....lagi...ahhhhh........,yang akhirnya membawa manusia atau rakyat itu berbuat, berlaku atau bertindak tidak adil dan lain-lain perbuatan yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Maka oleh karena itu, sekali lagi, Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan dasar negara yakni PANCASILA setidak-tidaknya lebih dekat pada negara yang menganut ajaran atau faham KEDAULATAN HUKUM