Senin, 23 Maret 2009

HENTIKAN PEMBENTUKAN PROP.TAPANULI

One Response to “DPRDSU Serukan, Pembentukan Propinsi Tapanuli Tidak Ada Unsur SARA”1. syarifuddin simbolon Says: Juni 15th, 2007 at 11:54 am

Catatan ini merupakan revisi tanggapan berita Harian Sinar Indonesia Baru on line.

Insya Allah masyarakat Sumut tidak akan terjebak dan terpengaruh dengan issu SARA. Dan saya percaya issu SARA tidak akan berkembang menjadi konflik terbuka di Sumatera Utara.Insya Allah.

Tapi terlepas dari issu SARA, dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah Tapanuli yang beberapa waktu belakangan ini sudah bertambah menjadi beberapa kabupaten baru antara lain Kabupaten Samosir, Kabupaten Tobasa, Humbang dan lain-lain.

Sepertinya pembentukan Tapanuli menjadi satu provinsi yang terpisah dan memisahkan diri dari SUMUT belumlah sesuatu yang layak dan tidak juga bukan merupakan kebutuhan telebih-lebih bukan sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat (masyarakat).

Apa manfaat yang sudah didapat oleh masyarakat dari pemekaran kabupaten atau provinsi?

Provinsi, kabupaten atau bentuk-bentuk lain dari organisasi bukan kebutuhan rakyat.

Kebutuhan rakyat adalah makan, minum, pakaian, rumah sekolah, ketenangan, keamanan dan lain-lain bentuk kebutuhan jiwa dan raga hingga masyarakatnya tergolong menjadi rakyat adil makmur sentausa. ?
Sudahkah?

Terpenuhinya kebutuhan rakyat atau, terwujudnya rakyat adil makmur sentausa tidak tergantung pada banyaknya pejabat atau banyaknya kabupaten atau provinsi. Namun sepertinya lebih terpengaruh kepada bagaimana pejabat itu melakukan tugas dan kewajiban melayani masyarakat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Adakah itu dilakukan oleh mereka yang mengaku pejabat atau yang merasa diri sebagai pejabat pemerintahan?

Benahi dulu, maksimalkan pelaksaan tugas pejabat-pejabat yang sudah ada untuk melayani masyarakat mewujudkan rakyat adil makmur sentausa. Jangan jadikan pemekaran daerah provinsi hanya untuk menduduki jabatan. Jangan pula jadikan jabatan sebagai alat untuk memperkaya diri-sendiri atau kelompok.

Jika pemekaran provinsi atau kabupaten dijadikan alat pemenuhan ambisi pihak-pihak untuk menjadi pejabat dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau kelompok, maka itu identik dengan cara atau bentuk lain dari rampok atau maling, penipuan, pembodohan rakyat, atau perbuatan-perbuatan lain yang tidak benar dan tidak pula adil serta bertentangan dengan maksud dan tujuan serta cita-cita para pahlawan pejuang pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemekaran kabupaten atau provinsi di Indonesia sepertinya tidak memberi manfaat yang cukup berarti bagi rakyat kebanyakan anak negeri ini. Malah sepertinya hanya menambah beban sebagai akibat semakin bertambahnya anggaran bagi pejabatnya. Pajak semakin meningkat, bentuk-bentuk pungutan bermunculan, harga bahan kebutuhan meningkat dan melonjak.

Pejabat-pejabat dengan kelompoknya semakin kaya dan kaya, hidup bermewah-mewah sementara diberbagai tempat rakyat semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan pokok, hidupnya semakin sulit dan melarat, busung lapar hingga mati kelaparan.
Untuk itu, selain memperhatikan minimnya manfaat “jika tidak dapat mengatakan tidak ada manfaat” bagi rakyat dari pemekaran wilayah provinsi di Indonesia, maka pengembangan Tapanuli menjadi provinsi yang terpisah dari SUMUT atau daerah lain di Indonesia dan agar wacana pemekaran tidak dimanfaatkan menjadi issu SARA atau issu lain yang berpotensi menjadi konflik dimasyarakat, maka sepertinya lebih baik hentikan rencara atau wacana pemekaran wilayah.

Bangunlah rakyat, bangun jiwanya dan bangun badannya.
Jangan bangun kabupaten atau provinsi. Kabupaten atau povinsi tidak butuh pembangunan, yang butuh pembangunan adalah rakyat yakni terwujudnya rakyat adil makmur sentausa. Atau setidak-tidaknya rakyat semakin mudah untuk memenuhi kebutuhannya.
Apabila rakyat adil dan makmur sudah terwujud, maka Insya Allah Rayalah Indonesia.
Insya Allah.

Minggu, 22 Maret 2009

INI REPUBLIK INDONESIA, BUKAN DEMOKRASI

Bukan Demokrasi Indonesia, Melainkan Republik Indonesia
Ini Republik Indonesia, bukan demokrasi Indonesia !!!.
Di lndonesia sepertinya istilah Republik kalah populer jika dibandingkan dengan dengan demokrasi.


Padahal secara resmi dalam sistem ketatanagaraan yakni dalam Dasar dan ldeologi maupun hukum dasar negara, terminologi demokrasi itu tidak ditemukan.


Lantas atas dasar apa demokrasi didengung-dengungkan kan?


Dari mana dan apa pula tujuan mendengung-dengungkan demokratisasi itu?



Selain itu yang tak kalah pentingnya menjadi pertanyaan, "apa yang dimaksud dengan demokrasi yang didengung-dengungkan itu"?


Secara resmi dalam dasar dan ideologi negara RI yang ditemukan adalah kerakyatan.Yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan. Hal ini terdapat dalam Pancasila yakni sila ke empat.


Namun pada kenyataan, entah itu dalam rangka penyelenggaraan negara oleh berbagai pejabat pada institusi-institusi baik eksekutif, maupun lembaga perwakilan mereka sering menghubungkan tindakan atau programnya dengan demokrasi.


Terkadang mereka berkata, “inilah demokrasi”. Ini demokratis, ini demokratisasi.Telah diputuskan secara demokratis.Telah ditentukan secara demokratis, dan lain-lain perkataan yang dihubungkan dengan demokrasi. Namun sepertinya tak pernah dijelaskan apa yang dimaksud dengan demokrasi yang mereka sebut dan dengungkan itu.


Tanpa penjelasan kemudian demokrasi pun sering dihubung-hubungkan dengan sistem pemerintahan dan bentuk pemerintahan. Terkadang mereka berkata “Inilah pemerintahan yang demokratis.”



Yah,,,beginilah menurut system pemerintahan demokrasi. Para pejabat negara sering menghubungkan demokrasi sebagai alas dan dasar atau pembenar tindakannya.Misalnya dalam mengambil suatu keputusan apabila ditentukan dengan suara terbanyak, maka itu disebut sebagai demokrasi, telah diputuskan secara demokratis.



Sepertinya aneh, pengambilan keputusan kok didasarkan atau diputuskan secara demokratis?



Demokrasi bukanlah suatu proses pengambilan keputusan.



Suatu keputusan dapat diambil melalui proses musyawarah dalam forum rapat, sidang dan lain-lain dengan berbagai metode, sistem atau atas dasar seperti pemungutan suara dan lain-lain.



Sesuai dengan dasar dan ideologi negara RI, maka dasar pengambilan keputusan dalam suatu musyawarah adalah hikmat dan kebijaksanaan. Keadaan ini jelas dan tegas ditentukan dalam sila keempat dari Pancasila.


Hikmat dan kebijaksaan itu lebih dekat dengan hukum. Selanjutnya dalam UUD 1945 disebutkan bentuk pemerintahan negara adalah Republik dan system pemerintahan negara adalah berdasar atas hukum (rechtsstaat), bukan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Tidak pula ditemukan istilah atau terminologi negara berdasar atas demokrasi.


Sehingga abila dihubungkan antara bentuk pemerintahan dengan system pemerintahan maka pemerintahan RI adalah Republik konstitusional (republik berdasar atas hukum dasar).

Dalam negara dengan sistem pemerintahan Republik konsitusional, tentulah tidak dibenarkan diktator mayaritas dan tidak pula tyrani minoritas.Tidak dibenarkan persekongkolan jahat oleh karena suara terbanyak.Demikian baik dan benarnya dasar dan ideologi negara ini ditentukan oleh para pejuang dan pendiri negara Republik Indonesia.

Namun demikian sepertinya para pejabat saat ini lebih akrab dengan demokrasi dibandingkan dengan republik.

Demokrasi sesungguhnya mempunyai kecenderungan menjadi machtsstaat. Dalam situasi dan kondisi tertentu antara demokrasi dengan machtsstaat sulit dibedakan apabila pengambilan keputusan dengan suara terbanyak disebut sebagai demokrasi.Dalam keadaan demikian suara terbanyak dibenarkan memaksakan kehendaknya kepada minoritas, padahal mayoritas itu belum tentu sesuai dengan hukum.

Dan anehnya sepertinya pengambilan keputusan dengan suara terbanyak mendominasi pengertian demokrasi. Inilah salah satu akar masalahnya.Sehingga dengan demikian demokarasi cenderung bermuka ganda.

Demokrasi menjadi tergantung kepada mereka yang menyebut dan menganggap demokrasi itu apa.

Apabila jumlah suara yang lebih banyak itu baik dan benar maka demokrasi akan menjadi baik. Namun jika suara yang lebih banyak itu tidak baik/salah maka akan disebut demokrasi yang jahat/buruk.

Celakanya,,keduanya dapat menyebut diri sebagai demokrasi.Demokrasi yang jahat juga menyebut dirinya "demokrasi". Sehingga orang banyak yang tidak menyadari bahwa "demokrasi" yang diusung oleh golongan "orang" tertentu itu adalah "demokrasi yang jahat/buruk".

Rakyat terpedaya dengan kedaulatan rakyat yang ada dalam demokrasi.Padahal sesungguhnya keadaan diatas seharusnya tidak terjadi karena demokrasi itu bukanlah pemungutan suara semata.

Oleh karena itu, harusnyalah mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan demokrasi itu.

Janganlah menjadi latah.Merasa mengerti padahal jauh dari sebuah pengertian tentang demokrasi.

Demokrasi itu berasal dari bahasa Junani yang terdiri dari dua kata yakni demos dan cratein, cratos. Sesungguhnya hal ini sudah diketahui sejak dibangku SMP, SMA atau tingkat persiapan di perguruan tinggi.

Pemerintah dan rakyat. Pemerintah yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga dengan demokrasi itu lebih dekat pada sebuah sistem pemerintahan. Pemerintah itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dalam bentuk tunggal, maka demokrasi itu dapat disebut; dari aku, oleh aku dan untuk aku. Dalam bentuk tunggal ini dapat terlihat bagaimana tergantungnya demokrasi kepada orang nya. Setiap orang dalam keadan tunggal berdaulat penuh atas dirinya.Jika orang itu baik maka tentulah demokrasinya menjadi baik. Jika orangnya tidak baik maka barang tentulah demokrasinya tidak baik pula. Sehingga dengan demikian untuk sebuah demokrasi yang baik dibutuhkan orang, rakyat yang baik, serba teratur, terpimpin.Jika tidak baik, tidak teratur, tidak terpimpin tentulah akan menjadi kacau, anarkhi.Maka inilah barangkali yang disebut oleh Bung Karno, demokrasi terpimpin.
Jika demokrasi itu adalah sistem pemerintahan. Maka system pemerintahan itu akan baik apabila rakyatnya baik. Kebaikan itu tentu akan terbukti dari tujuan dan hasilnya yang tentu harus mewujudkan kesejehateraan untuk seluruh rakyatnya.Agar demokrasi itu menjadi baik sepertinya masih diperlukan elemen yang mengatur.
Sehingga dengan demikian, sepertinya demokrasi itu lebih pas apabila disebut sebagai bentuk suatu pemerintahan, yakni pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, bukan sistem. Karena masih memerlukan elemen lain menyangkut menyangkut bagaimana pemerintahan itu jalankan.Setidak-tidaknya demokrasi itu masih memerlukan elemen yang mengatur agar menjadi baik.
Barangkali demokrasi pada jaman junani kuno sebenarnya belum ada organisasi pemerintah dan negara seperti saat ini.Kemungkinan pada jaman junani kuno yang disebut sebagai negara itu hanyalah sekelompok orang yang tinggal pada suatu tempat (kota) dan masing-masing orang perorang tertib mengatur diri sendiri berusaha sendiri untuk kesejahteraan sendiri. Tidak ada pemimpin formal dalam kelompok masyarakat. Masing-masing setiap penduduk memimpin diri sendiri dengan tertib.
Karena apabila sudah ada organisasi formal terlebih-lebih dalam bentuk negara tentulah harus ada pengurus yang menduduki suatu jabatan untuk urusan tertentu.Tidak semua menjadi pengurus yang duduk dalam jabatan struktural organisasi. Sewajarnya sebagian menjadi pengurus “pemerintah” dan sebagaian lagi menjadi anggota “rakyat”.

Sehingga dengan demikian untuk masyarakat modern yang serba kompleks seperti pada saat sekarang ini, maka bentuk pemerintahan demokrasi sudah tidak dimungkinkan.Dengan demikian untuk masyarakat modern seperti saat ini yang masih relevan dari sebuah demokrasi adalah unsur kedaulatan yakni kekuasaan tertinggi untuk menentukan sebuah pemerintahan termasuk asalnya yaitu yang membentuk pemerintahan itu serta tujuan pembentukan pemerintahan itu untuk kesejahteraan rakyat.

Pada masyarakat modern, yang lebih dimungkinkan adalah bentuk pemerintahan republik. Res dan publica. Pemerintahan yang diselenggarakan oleh orang banyak untuk melayani kepentinga public “rakyat”. Kekuasaan dalam pemeritahan tidak terpusat pada satu orang, melainkan pada beberapa orang yang bertugas untuk tugas dan urusan tertentu. Ada pembagian kekuasaan pemerintahan negara “distribution of power”. Dan pemerintahan itu ditujukan untuk melayani, mensejahterakan publik~ seluruh rakyat, social welfare.

Sehubungan dengan bentuk pemerintahan, Negara Indonesia dalam UUD 1945 menentukan bentuk pemerintahan negara adalah Repubublik, bukan demokrasi.

Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dalam keadaan modern seperti saat ini sepertinya sudah tidak relevan. Yang masih relevan dari demokrasi adalah unsur kedaulatan yakni kekuasaan yang tertinggi. Dalam negara modern selayaknya rakyat itulah yang berdaulat.Keadaan ini adalah patut sebab rakyatlah yang membentuk negara, rakyat lah subjeknya sedangkan negara itu adalah organisasi, kumpulan atau wadah dari rakyat itu.

Jika kedaulatan dalam suatu negara dipegang oleh rakyat maka negara itu disebut negara demokrasi.

Selanjutnya perlu pula diketahui dan dipahami kedaulatan apa yang dipegang atau yang berada ditangan rakyat itu.?

Mengenai hal ini ada beberapa teori tentang kedaulatan yakni kedaulatan Tuhan, Kedaulatan rakyat, kedaulatan negara dan kedaulatan hukum.
Mengenai teori kedaulatan tersebut diatas sepertinya Indonesia tidak menganut teori kedaulatan rakyat melainkan kedaulatan hukum.

Kedaulatan hukum yang dianut Indonesia itu dapat terlihat dari sila keempat dari Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan pasal 1 ayat 2 UUD 1945 "Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat."

Hikmat itu adalah lebih mendekati kebenaran, yang sebenarnya.Sedangkan yang sebenarnya itu identik atau dekat dengan hukum. Dan dalam menjalankan hukum itu diperlukan suatu sikaf yang arif lagi bijaksana. Dalam bermusyawarah maupun dalam menentukan perwakilan haruslah berdasar atas hikmat~hukum.Bukan karena suara terbanyak namun haruslah selalu berpatokan pada yang layak dan patut, hikmat~hukum. Karena jika tidak akan terjadi apa yang disebut dengan kejahatan komunal.Musyawarah, kesepakatan untuk berbuat jahat.Kesepakatan untuk melanggar hukum. Persekongkolan jahat, begitulah kira-kira apabila musyawarah tidak didasarkan pada hukum.

Dengan demikian jika dihubungkan dengan teori kedaulatan, maka di Indonesia kedaulatan itu adalah kedaulatan hukum.Kedaulatan hukum yang dipegang oleh rakyat Indonesia, kedaulatan itu berada pada rakyat.Posisi rakyat adalah pemegang kedaulatan. Bukan kedaulatan rakyat, melainkan kedaulatan hukum yang dipegang oleh rakyat.

Sepertinya keadaan itu lebih mendekatai pada kebenaran sebab apabila kedaulatan itu kedaulatan rakyat salah satu resikonya adalah bahwa kedaulatan itu sangat tergantung pada rakyat. Tergantung pada situasi dan kondisi rakyat, seperti situasi pemikiran, sikap dan perilaku tertentu. Kedaulatan itu tidak stabil, tidak tetap karena sangat tergantung pada keadaan rakyat. Jika pada suatu jangka waktu tertentu rakyat berorientasi pada kebaikan dan kebenaran, maka kedaulatan akan menjadi baik dan benar. Demikian jika kondisinya tidak baik maka kedaulatannya pula tidak baik.

Akan berbeda dengan kedaulatan hukum.Hukum itu tidak tergantung pada masyarakat, melainkan masyarakatlah yang tergantung pada hukum. Hukum itu lebih stabil dibandingkan dengan rakyat.Hukum itu pasti benar dan pasti adil. Jika tidak benar dan tidak adil maka itu bukan hukum. Oleh karena itu lebih tepat dan sepertinya lebih mendekati kebenaran apabila kedaulatan itu adalah kedaulatan hukum. Dan kedaulatan hukum itu ada pada dan dipegang oleh rakyat, bukan pada pemerintah.Begitulah kira-kira kedaulatan dimaksud dalam Pancasila Dasar dan Ideologi Negara Republik Indonesia.

Dan untuk Indonesia sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 tanpa amandemen, kedaulatan hukum itu dipegang oleh rakyat.Demikian antara lain nilai-nilai Pancasila diwujudkan dalam UUD 1945 sebagai hukum dasar negara.

Jadi dengan demikian sekali lagi, ini Republik Indonesia, bukan demokras Indonesia.

Tidak ada demokrasi Indonesia yang ada adalah “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan yakni sila ke empat dari Pancasila.”
Sepertinya seharusnya demikian.
Insya Allah

DEVIDE ET IMPERA JILID 2


Lihatlah, sesama anak negeri, saling menuduh, saling menjatuhkan, dengan kemasan penegakan hukum, pemberantasan korupsi.Rahardi Ramelan yang kurus itupun masuk tahanan hingga divonis sebagai koruptor dengan pidana penjara, juga Abdullah Puteh divonis bersalah melakukan korupsi ketika menjabat sebagai Gubernur Aceh masuk penjara dan bayar denda/pengganti kerugian negara, tak ketinggalan pula Prof.Rohimin Dahuri yang ketika menjabat menteri kelautan, kehadirannya sangat menyejukkan para nelayan kecil karena selama Rohimin menjabat sebagai menteri, para nelayan kecil anak negeri ini mendapatkan manfaat yang cukup berarti.
Namun sayang seribu kali sayang anak negeri yang mereka banggakan itu kemudian dimasukkan dalam tahanan dankemudian dijebloskan ke penjara sebagai koruptor.Apa daya, kehendak hati memeluk gunung, para nelayan kecil tak memiliki daya untuk menyelamatkan saudaranya yang telah berbuat sesuatu yang berguna bagi rakyat kecil negeri ini.
Demikian pun Swarna, mantan Gub.Kaltim, Syaukani mantan Bupati Kukar, Syahril Darham mantan Gubernur Kalsel, Probosutejo pengusaha yang dikenal sebagai seorang nasionalis tak luput dari derita sejenis yang dialami oleh saudara-saudaranya sesama anak negeri, mendekam dan merasakan pahit getirnya kehidupan dibalik jeruji besi.
Terakhir muncul lagi issu populer skandal aliran dana dari BI ke anggota DPR yang jumlahnya disebut-sebut sekitar se 100 san milyar rupiah. Issu ini seperti dikondisikan sedemikian rupa agar menjadi pembicaraan publik, seolah-olah pejabat hendak memberantas dan mengusut kasus korupsi yang sangat besar dan terbesar di-era ini, seolah-olah skandal itu adalah skandal terbesar yang sangat merugikan keuangan negara???Benarkah?
Sungguhkah Rahardi Ramelan melakukan korupsi, sungguhkan Prof.Rohimin Dahuri melakukan korupsi, sungguhkan anggota DPR dan pejabat BI melakukan korupsi?
Jika mereka korupsi berapa yang mereka korup?

Apakah mereka dan pejabat-pejabat lain anak negeri ini sudah menjadi orang terkaya dinegeri ini???
Jikalau mereka korupsi kemana dan dimana uang yang mereka korup itu dipergunakan???
Jawabanya, sepertinya tak dari jauh dari : "mereka dan pejabat-pejabat lain negeri ini bukanlah orang-orang terkaya di negeri ini, uang mereka masih tetap dipergunakan di negeri ini, sehingga jikalaupun mereka korupsi kadar merugikan keuangan negara sepertinya sangat kecil sebab uang itu masih tetap mereka pergunakan dinegeri ini paling-paling juga mereka kirim sebagian kepada saudara-saudaranya didesa dan dipelosok negeri ini. Uang nya tak kemana-mana ko.
Coba bandingkan beberapa skandal keuangan dan perbankan yang melibatkan Edy Tanzil alias...entah siapa nama cina-nya dalam skandal Golden Key dengan besaran angka hingga Rp 1,3 trilyun ...., hingga Syamsul Nursalim alias.....entah siapa lagi nama cina nya dalam skandal dana BLBI yang besarnya trilyunan rupiah, Adelin Lis alias entah siapa lagi nama cina nya dalam skandal penebangan hutan yang diduga merugikan negara hingga trilyunan rupiah, mereka tidak mendekam dalam penjara seperti Rahardi Ramelan, Swarna, Probosutejo, dan anak-anak negeri tersebut diatas.
Bandingkanlah kerugian yang ditimbulkan oleh kedua kelompok diatas.
Coba telisik lagi kemana dan dimana uang itu mereka gunakan.
Coba lagi hitung jika Syamsul Nursalim dan Adelin Lis mengirim sebagian uang itu ke Singapore atau Cina negeri leluhur mereka.

Berapa besar kerugian negera yang ditimbulkannya.
Uang rakyat/Negara ini mereka rampok dengan berbagai modus operandi kemudian mereka dikirim lagi kenegeri leluhurnya.
Jawablah sendiri.....
Namun aku melihat, sepertinya sesama anak negeri saling menghantam dan saling menuduh sebagai koruptor, padahal koruptor sebenarnya atau setidak-tidaknya yang lebih merugikan rakyat dan negara ini melenggang-lenggong menggerogoti harta kekayaan negeri ini dan kemudian hasilnya dikirim atau ditanamkan dinegeri lain, negeri leluhurnya.
Barangkali keadaan pemberantasan korupsi di negeri ini mirip seperti devide et impera jilid 2.
Maka sadar dan waspadalah.
Hentikan fitnah sesama saudara.Siasati sikap dan perilaku orang-orang disekitarmu yang menyebut diri sebagai saudaramu, bangsa Indonesia, padahal dia adalah keturunan ular beludak yang tengah memperdayamu lalu menelanmu bulat-bulat tanpa mampu melakukan perlawanan yang berarti, atau membiarkanmu mati sendiri karena busung lapar.
Sadarlah wahai anak negeri, anak-anak Garuda, kalian sedang diadu domba anak-anak ular beludak (ular naga). Anak-anak negeri dijejali dengan bebagai jenis narkoba.

Pelajari lah yang tertulis dalam kitab suci, "ular adalah binatang darat yang paling licik"

Pelajarilah sabda Nabi, "tuntutlah ilmu walau kenegeri cina"

Sepertinya ada hubungannya dengan pesan para bijak, "know your enemi", "kenalilah/pelajarilah musuhmu"

Ada juga orang bijak berpesan kepada muridnya,"musuh adalah guru yang besar"

Kembali ke istilah korupsi.

Jikalau anak-anak negeri korupsi taklah seberapa dibandingkan dengan mereka yang mengeruk harta kekayaan alam negeri ini dengan berbagai modus seperti skandal perbankan, perambahan hutan, peredaran narkoba, penggelapan pajak, bisnis pelacuran, perjudian, dan lain lain, lalu hasilnya dikirim ke negeri leluhurnya.!!!

Bangkitlah anak-anak negeri
Putera puteri Ibu Pertiwi
Bergandeng tangan
Luruskan dan rapatkan barisan
Bangkitlah Indonesia
Kebangkitan Nasional Jilid II
Lawan devide et impera jilid dua
Usir pelakunya
Bangkitlah Indonesia
Kebangkitan Nasional Jilid Dua
Raya lah Indonesia
Insya Allah

SEPERTI MEBODOHI RAKYAT

Proses amandemen terhadap UUD 1945 telah berlangsung sebanyak empat kali. Baik mengenai amandemen pertama maupun yang kedua hampir saja tidak seorangpun ahli tata negara memberi tanggapan yang serius.Dengan keadaan demikian, maka wajar saja masyarakat akar rumput tidak juga memberi respon yang serius.

Padahal jika diperhatikan secara jernih, amandemen pertama atas UUD 1945 sebenarnya tidak menghasilkan keadaan yang lebih baik, bahkan cenderung menambah masalah.Setidak-tidaknya amandemen pertama tersebut semakin membingungkan.

Tidak mustahil, jika suara yang menentang amandemen saat ini sebenarnya merupakan sikap yang timbul setelah melakukan analisa atas amandemen yang sudah berlansung selama tiga kali tersebut.

Penentangan terhadap amandemen ini juga bisa muncul karena masyarakat merasa bahwa amandemen tidak memberi konstribusi yang baik kepada masyarakat.Toh keadaan begitu-begitu saja, pejabatnya tetap korup, bahkan posisi negara Indonesia sebagai negara terkorup melejit mencapai peringkat tertinggi.

Seperti gayung bersambut, suara terpendam masyarakat berhasil ditangkap dan ditindaklajuti oleh anggota MPR. Maka wajar apabila menjelang amandemen keempat yang akan dilaksanakan pada sidang tahunan MPR yang akan datang, amandemen menjadi hangat diperbincangkan. Berkembang pro dan kontra. Pro dan kontra kali ini akan lebih agak menarik, karena suara penentang amandemenpun sudah didendangkan oleh anggota MPR. Dan lebig menarik karena konon anggota MPR yang menentang amandemen tidak sedikit jumlahnya.

Amin Aryoso dengan Gerakan Nurani Parlemen (GNP) tidak menghendaki adanya amandemen sebab amandemen itu sudah kebablasan. Menurut Aryoso, apa yang dilakukan MPR berkaitan dengan amandemen sudah mengarah ke revolusi bukan lagi reformasi. Konon, GNP sudah didukung kurang lebih 250 anggota MPR (Media Indonesia, Edisi Minggu, 21 April 2002.hal.2).

Salah satu alasan yang dikemukakan GNP adalah perubahan pasal 1 ayat (2). Pasal yang semula berbunyi, “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” berubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.

Perubahan pasal tersebut dianggap telah mengingkari pembukaan UUD 1945, terutama alinea keempat UUD 1945. Perubahan tersebut telah mengakibatkan MPR kehilangan hak konstitusionalnya.

Menurut Aryoso, perubahan pasal 1 ayat (2) itu telah menimbulkan problem konstitusi, bahkan melahirkan kontradiksi baik dengan Pembukaan UUD 1945 maupun dengan pasal berikutnya yakni dengan pasal 3. Dalam pasal 3 amandemen 1945, “MPR diberi kewenangan mengubah dan menetapkan UUD”.

Apa yang dikatakan oleh Aryoso tersebut lebih mendekati kebenaran. Karena konsekuensi juridis pasal 1 ayat (2) amandemen, maka yang berwenang merubah dan menetapkan UUD adalah rakyat, bukan MPR. Selanjutnya keberadaan MPR pun tidak diperlukan lagi. Segala sesuatu menyangkut kedaulatan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana rakyat selaku pemegang kedaulatan melaksanakan kedaulatan itu. Hal ini tidak mendapat pengaturan lebih lanjut dalam amandemen UUD. Keadaan ini sangat membingungkan dan mengaburkan.

Jikalaupun UUD akan mengatur lebih lanjut secara terinci, prosedur pelaksanaan kedaulatan, maka dengan demikian UUD telah berubah menjadi UU.Dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak wajar dan sangat tidak logis serta kontradiktif dengan amandemen itu sendiri.

Angin yang menentang amandemen inipun berhembus dari luar lembaga MPR, tidak kurang, Roeslan Abdulgani tokoh angkatan 45 berujar, ”rakyat yang perutnya kosong ini tidak akan terselesaikan dengan menyodorkan sebuah konstitusi yang katanya hebat. Rakyat sekarang ini butuh penyelamatan secepatnya, butuh makan, butuh kesejahteraan, serta butuh rasa aman yang kini menjadi barang langka, bukan butuh amandemen UUD”.

Pendapat senada juga datang dari Forum Kajian Ilmiah Konstitusi (FKIK) yang dimotori oleh Prof.Usep Ranawijaya. Forum ini juga mempersoalkan amandemen UUD dan mengingatkan bahwa yang dilakukan oleh PAH I BP MPR bukan lagi melakukan amandemen, melainkan sudah merombak struktur dan system ketatanegaraan, bahkan sudah membuat UUD baru. Dan oleh karena itu, FKIK telah meminta agar proses amandemen dihentikan.

Apa yang dikemukakan oleh forum inipun lebih mendekati kebenaran.
Namun Ketua MPR, Amin Rais menilai mereka yang anti amandemen sebagai subversif. Menurut Amin Rais, bila amandemen UUD 1945 ditolak Indonesia akan kacau balau, bahkan kembali ke masa lalu. Artinya, presiden bisa dipilih tanpa batas waktu, bahkan seumur hidup, DPR hanya tukang stempel undang-undang yang dibuat oleh pemerintah, tidak ada mahkamah konstitusi, pasal HAM yang sudah bagus dihilangkan.

Apa yang dikemukakan oleh Amin Rais ini sepertinya lebih jauh dari kebenaran.
Dikatakan jauh dari kebenaran karena sesungguhnya pasal 7 UUD 1945 (tanpa amandemen) bukan berarti presiden bisa dipilih tanpa batas. Kata “kembali” dalam rumusan pasal 7, sebanarnya menurut hukumnya telah memberi batas.

Karena ilmu hukum telah menentukan metode untuk menentukan arti atau maksud suatu teks atau kata dalam pasal perundang-undangan yang dianggap kurang dipahami, atau dianggap tidak jelas, yakni dengan cara penafsiran (interpretasi). Dalam ilmu hukum dikenal beberapa jenis interpretasi yaitu penafsiran sejarah (historis), penafsiran tata bahasa (gramatikal), penafsiran sistematika, dan penafsiran analogi, serta argumentum contrario.

Dengan demikian, oleh karena yang menjadi persoalan dalam pasal 7 UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah kata “kembali”. Maka sesuai dengan metode interpretasi menurut ilmu hukum, maka seharusnya dipergunakan interpretasi gramatikal. Dengan interpretasi ini akan diketahui apakah kata kembali tidak mengandung unsur pembatas ?

Dalam tata bahasa Indonesia, kembali berarti ada suatu sebab yang terjadi sebelumnya sebagai aksi. Kembali berarti, balik ke tempat atau keadaan semula, balik ke tempat asal, dan berhenti di situ.

Jika masa jabatan 5 tahun pertama sudah berakhir, maka apabila dia kembali menjadi presiden, maka itu adalah selama 5 tahun seperti keadaan semula (untuk periode kedua), sehingga menjadi dua kali, dan cukup (berhenti) sampai disitu. Masa jabatan 5 tahun (untuk periode ketiga) bukanlah termasuk dalam pengertian kata “kembali”, tetapi itu sudah masuk dalam pengertian kata “lagi”, “berkali-kali”, atau “berulangkali”. Kembali mengandung unsur pembatas, sekali lagi (lihat KBBI, ed.II, hal 473).

Namun selama Soeharto berkuasa, kata kembali ditafsirkan dan dilaksanakan tidak menurut hukumnya, tetapi menurut selera dan kepentingan penguasa. Jadi, berulang-ulangnya Soeharto mejabat presiden RI bukanlah kesalahan UUD 1945 (tanpa amandemen), tetapi itu adalah pelanggaran terhadap pasal 7 UUD 1945 (tanpa amandemen). Pasal 7 UUD 1945 telah ditafsirkan dan dilaksanakan menjadi, “Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih lagi, berkali-kali dan atau berulang kali”

Jikalaupun sebahagian bangsa ini tidak pandai berbahasa Indonesia karena sudah lebih pintar berbahasa asing, sehingga pasal 7 UUD 1945 (tanpa amandemen) dianggap kurang jelas, maka cukup dan sebaiknya diadakan penjelasan pasal 7, sesuai dengan hukumnya. Tidak perlu dan tidak harus merubah pasalnya. Karena akibat hukum dari kedua perbuatan amandemen dan melakukan penjelasan, satu dengan yang lainnya adalah berbeda.

Apa yang dikatakan Amin Rais tentang, “presiden bisa dipilih tanpa batas, bahkan seumur hidup”, mungkin ada benarnya jika rumusan pasal 7 UUD 1945 (tanpa amandemen), ‘Masa jabatan Presiden adalah 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih lagi.

Padahal sangat jelas dan nyata, rumusan pasal 7 UUD 1945 (sebelum amandemen), tidak memakai kata “lagi” melainkan “kembali”, yakni “Masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Kata ‘lagi” dan “kembali” adalah dua kata yang mempunyai arti yang berbeda satu dengan yang lain.

Sehingga oleh karena itu, barangkali alasan Amin Rais mengatakan UUD 1945 (tanpa amandemen) tidak membatasi seseorang dipilih atau menjabat Presiden adalah karena Amin Rais sudah tidak faham dengan bahasa Indonesia, barangkali pula sudah lebih pintar berbahasa Inggris atau bahasa asing selain bahasa Indonesia.

Bila selama masa kekuasaan Soeharto, Amin Rais menganggap DPR hanya sebagai tukang stempel undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah, itupun bukanlah kesalahan UUD 1945 (tanpa amandeman).

Barangkali itu adalah akibat para anggota DPR itu kurang memahami tugas, fungsi, dan wewenangnya. Karena dalam pasal 20 ayat (2) dan pasal 21 ayat (1) UUD 1945 (tanpa amandemen), “DPR berhak menolak rancangan Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah dan berhak mengajukan rancangan Undang-undang”.

Demikianpun terhadap perlindungan HAM, UUD 1945 (tanpa amandemen) tidak demikian buruk. Pasal 27 UUD telah menjaminan persamaan kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum, dengan tidak ada kecualinya.

Malah amandemen pasal 27 lebih buruk dari sebelumnya dan sangat merugikan serta berbahaya bagi setiap warga negara. Amandemen pasal 27 “menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara dihadapan undang-undang”.

Pasal 27 UUD 1945 (sebelemum amandemen), menjamin persamaan kedudukan dihadapan hukum, sedangkan amandemen pasal 27 “menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara dihadapan undang-undang”. Apabila hukum dibandingkan dengan undang-undang, maka hukum mempunyai derajat dan kedudukan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan undang-undang.

Suatu undang-undang dimungkinkan tidak benar dan tidak adil barangkali dapat terjadi oleh karena kepentingan pada saat pembuatannya atau kualiatas intelektual dan moralitas para pembuatnya.Sedangkan hukum itu pasti benar dan pasti adil. Undang-undang dimungkinkan ketiggalan zaman sedangkan hukum tidak mungkin ketinggalan zaman.

Maka dalam system peradilan Indonesia, suatu undang-undang dapat saja tidak berarti dihadapan hakim, karena hakim tidak memutus perkara berdasarkan undang-undang melainkan berdasarkan hukum demi terwujudnya keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana ditentukan dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman. Keadaan ini adalah sejalan dengan system ketatanegaraan Indonesia yang memandang UUD 1945 itu sebagai konstitusi, hukum dasar, “grond recht”, bukan “grond wet”.

Sehingga dengan demikian jaminan hak azasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 (tanpa amandemen) adalah lebih baik dibandingkan UUD 1945 (setelah amandemen).

Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh Amin Rais tentang buruk atau tidak adanya jaminan HAM dalam UUD 1945 tanpa amandemen sepertinya jauh dari kebenaran.
Bahkan dengan amandemen pasal 27 UUD 1945, dapat saja suatu saat pemerintah atau negara merampas kepentingan hukum atau HAM warga negara dengan alasan kepentingan tersebut belum diatur dan belum dilindungi oleh undang-undang. Bahkan undang-undang sengaja membuat keadaan demikian karena pejabat-pejabat pembuat undang-undangnya sengaja mempersulit dan merugikan rakyat.

Begitupun tentang pasal 28 UUD 1945 (tanpa amandemen). telah menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Lagi-lagi, amandemen pasal 28 telah menimbulkan permasalahan dan menghambat proses hukum terhadap pelanggaran HAM. Dalam amandemen diberlakukan azas tidak berlaku surut. Dengan demikian, penegakan HAM akan menjadi kandas di pengadilan, karena hampir semua kejahatan yang diduga sebagai pelanggaran HAM dilakukan sebelum UU HAM dibuat dan diundangkan.

Dengan demikian apa yang dikemukakan Amin Rais ataupun pihak-pihak yang pro amandemen UUD 1945 masih jauh dari kebenaran. Pro amandemen, sepertinya terpengaruh dengan pikiran yang mempersalahkan UUD 1945 atas penyelenggaraan negara selama ini (baca : krisis), bukan mempersalahkan pelaksanaanya. Secara politis, pro amandemen patut diduga sebagai perlindungan terhadap mantan-mantan penguasa.

Oleh karena itu, sepertinya tuduhan atau anggapan Amin Rais terhadap yang anti amandemen sebagai subversib sangat tidak logis. Bahkan apabila dibandingkan dan dihubungkan dengan subversi, sepertinya pro amandemen lebih dekat dekat subveri darpada anti amandemen.

Terlepas dari pro dan kontra tentang amandemen UUD 1945. Tidak perlu khawatir dengan reformasi, atau bahkan tidak perlu khawatir dengan revolusi. Sepanjang hal itu baik dan sesuai dengan hukum dan mewujudkan keadilan untuk semua, maka apakah itu reformasi atau revolusi bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan atau dipermasalahkan.

Memperhatikan amandemen UUD1945 (baik amandemen pertama, kedua, ketiga atau keempat), maka jika itu dikatakan amandemen maka lebih layak jika disebut amandemen yang sesat atawa disesatkan. Dan apabila itu disebut sebagai tuntutan reformasi, maka lebih layak disebut sebagai reformasi yang sesat atauwa disesatkan.
Merujuk pada pendapat Prof.Dr.Sri Soemantri, SH., Guru besar Hukum Tata Negara Univesitas Padjajaran, “membuat UUD itu tidak gampang, karena membutuhkan ketenangan dan kemampuan yang mendalam soal konstitusi”, maka sebaiknya kembali saja ke UUD 1945 tanpa amandemen, menunggu situasi dan kondisi yang lebih kondusif”.
Apabila ditelaah secara jernih dan mendalam, maka amandemen UUD 1945 bertentangan dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Salah satu contoh yakni pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota secara langsung adalah suatu keadaan yang bertentangan dengan sila keempat dari Pancasila.

Sebaiknya seluruh potensi bangsa ini berkonsentrasi melakukan koreksi atas segala tindakan mantan penguasa pada saat berkuasa. Apakah tindakan itu sesuai dengan UUD 1945 atau melanggar UUD 1945 dan selanjutnya meminta pertangungan jawab secara hukum. Adili mantan pejabat dan kroni-kroninya, kembalikan harta negara (harta rakyat) yang telah dikorupsi. Inilah esensi dari perjuangan dan yang dibutuhkan rakyat kebanyakan negari ini demi terwujudnya rakyat adil makmur sentausa sebagaimana diperjuangkan para pahlawan, pejuang dan pendiri Negara ini, entah itu sekarang itu disebut reformasi, atau entah apa namanya yang perjuangkan. Bukan amandemen.

Jika bukan untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, seperti rakyat adil makmur sentausa, entah itu reformasi entah apa namanya, maka sebaik dan seharusnya dihentikan.

Untuk itu antara lain perlu agar Kekuasaan Mahkamah Agung RI sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam pasal 24 UUD 1945 perlu dimaksimalkan lewat Undang-undang.
Periksa UU Tentang Mahkamah Agung, UU Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, apakah UU tersebut telah sesuai dengan semangat, jiwa dan maksud UUD 1945.
Sepertinya selama ini, Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk hanya untuk mengadili objek yang sangat terbatas (keputusan individual, final dan sangat terikat dengan waktu) dan putusannya tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Malah pelaksanaan putusannya pada akhirnya tergantung kepada presiden. Ini bertentangan dengan pasal 24 UUD 1945 tanpa amandemen.
Peradilan tata usaha dikondisikan sedemikian rupa agar identik dengan “macan ompong”. Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk, “hanya sekedar penghibur” rakyat dan agar di mata internasional, Indonesia memenuhi syarat sebagai negara hukum, agar tidak disebut Negara barbar atau pemerintahan yang mendholimi rakyatnya.

Pengadilan Tata Usaha Negara perlu diberi kekuasaan eksekusi, sehingga demi tegaknya hukum dan kepastian hukum pelaksanaan putusannya dapat dipaksakan sesuai dengan salah satu sifat dari hukum itu sendiri, memaksa. Dan untuk hal ini tidak perlu mengamandemen UUD 1945, cukup dengan melakukan perubahan atas UU Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.

Untuk tingkat paling tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara pada tingkat Mahkamah Agung RI perlu diberi wewenang untuk menguji segala tindakan dan kebijakan para pejabat tinggi (seperti Lembaga Kepresidenan termasuk kabinet, MPR, DPR, GUBERNUR, BUPATI) dan para mantan pejabatnya dalam rangka penyelenggaraan negara (termasuk menguji suatu Undang-undang bahkan menguji Tap MPR terhadap UUD 1945) pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan kata lain pada tingkat dan dalam lingkungan Mahkamah Agung RI perlu dibentuk semacam Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi itu harus didalam lingkungan Mahkamah Agung RI bukan terpisah dan berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung RI seperti saat ini.

Adanya Mahkamah Konstitusi diluar Mahkamah Agung RI bertentangan dengan pasal pasal 24 UUD 1945 tanpa amandemen. Dan tentu itu bertentangan dari sifat hukum itu sendiri.Hukum itu harus satu, tidak dua, tidak pula doble streo, jika boleh disebut keadaan itu identik dengan "ular berkepala dua".
Dan untuk membentuk Mahkamah Konstitusi pada lingkungan Mahkamah Agung RI tidak perlu melakukan amandemen UUD 1945, namun cukup melakukan perubahan (amandemen) UU Tentang Pengadilan Tatas Usaha Negara atau UU Tentang Mahkamah Agung.

Dengan dasar putusan Mahkamah tersebut, harta kekayaan mantan presiden, mantan anggota MPR, mantan anggota DPR, mantan Jaksa Agung, mantan Kapolri, mantan Menteri dirampas untuk negara.

Hal inilah yang sangat perlu dan mendesak diatur dalam undang-undang organik sebagai pelaksanaan UUD. Lagi-lagi rakyat bukan butuh amandemen !!!!

Selain itu, amandemen ke I, amandemen ke II maupun amandemen ke III hingga amandemen ke-empat tidak dan belum memberi konstribusi bagi rakyat. Bahkan amandemen telah menambah masalah, khususnya peradilan atas dugaan pelanggaran HAM saat ini. UU tentang HAM akan dihadang oleh UUD 1945 setelah amandemen. Dengan demikian para terdakwa pelanggar HAM dapat dipastikan tidak akan dapat dihukum atas dasar UU Tentang HAM.

Sesungguhnya, dengan memperhatikan situasi dan kondisi bangsa dan negara saat ini, maka sangat mendesak adanya sebuah otoritas untuk mengadili mantan penguasa atas segala tindakan dan atau kebijakan yang dilakukannya dalam rangka penyelenggaraan negara yang diduga bertentangan dengan UUD 1945 serta diduga sebagai sebab terpuruknya bangsa ini dalam krisis terutama dalam bidang sosial ekonomi.
Dan apabila diperhatikan secara saksama, amandemen UUD 1945 sepertinya merupakan perbuatan memebodohi rakyat, mengaburkan kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, antara lain yang perlu dilakukan adalah membentuk Mahkamah Konstitusi di lingkungan Mahkamah Agung yang mempunyai wewenang pada tingkat pertama dan terakhir untuk mengadili, mantan penguasa dengan segala bentuk tindakan dan kebijakannya dalam rangka penyelenggaraan negara. Mengacu dan berpedoman pada Aturan Peralihan pasal 2 UUD 1945, dapat dipergunakan pasal 104 UUD Sementara 1950 atau pasal 148 Konstitusi RIS, sehingga Mahkamah ini merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir.

Untuk itu, sekali lagi sebaiknya kembali saja ke UUD 1945 tanpa amandemen sebelum segala sesuatunya lebih kacau.

Segeralah kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen dan laksanakan sesuai semangat dan jiwanya.

Insya Allah dengan demikian keadaan akan lebih baik, rakyat adil makmur dan sentausa.

Insya Allah, Raya lah Indonesia karena sepertinya harusnya demikian.

Insya Allah.