Tuesday, December 12, 2006
AWAS RAYUAN MAUT CHINA
Kalimat diatas merupakan judul sebuah berita pada harian Warta Kota edisi Juma’at 8 Desember 2006 halaman 6.
Dalam pemberitaan dituliskan:
“KETUA Pusat Studi China Universitas Indonesia, DR.I Wibowo mengingatkan agar semua mewaspadai kebangikitan China yang lebih banyak dikaitkan dengan pertumbuhan militernya atau hard power ketimbang soft power atau kekuatan lunaknya yang juga dikembangkan negara tersebut. “Kita harus melihat China tidak hanya berdasarkan hard power tetapi juga soft power-nya.” Kata I Bowo dalam diskusi “Kemitraan Strategis RI-RRC : Tindak Lanjut Konkret dan Prospek ke Depan”, di Jakarta, Kamis (7/12). Menurut dia, pada kekuatan lunak tidak digunakan militer melainkan kekuatan bujukan atau daya tarik, namun tujuannya sama yaitu membuat pihak lain tunduk.Serangkaian tindakan China dalam hal ini diantaranya menjalin hubungan persahabatan dengan negara lain sebanyak mungkin.”Kini, dapat dikatakan China berhasil mengurangi jumlah negara yang memusuhinya.Amerika Serikat dan Uni Eropa telah dirangkulnya.Begitu pula Rusia yang sewaktu masih berbentuk Uni Soviet menjadi musuh besarnya,” ujar pengajar di FIB UI. China juga menawarkan berbagai bantuan keuangan kepada sejumlah negara berkembang, tanpa syarat ketat sebagaimana dituntut World Bank atau negara maju. (Ant/wip) “
Apa yang dikatakan DR I Wibowo seperti disebut pada pemberitaan tersebut sepertinya mendekati fakta meskipun masih terkesan sangat diplomatis, atau barangkali itu sebgai ciri bahasa akademisi atau mungkin pula dipengaruhi oleh budaya Indonesia, ‘jawa’, santun, halus bahkan mungkin euh pakeuh.Atau barangkali bahasa yang itu merupakan bahasa para bijak.
Bahasa orang bijak memang sepertinya tidak begitu mudah untuk dipahami, terlebih-lebih awam dengan tingkat pendidikan formal yang masih belum layak,seperti kebanyakan rakyat negeri ini. Oleh karena itu sepertinya apa yang dikemukakan oleh DR.I Wibowo tersebut perlu dikaji atau ditelusuri lebih rinci dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh rakyat kebanyakan negeri ini.
Penelusuran lebih rinci dan sederhana barangkali diperlukan agar masyarakat kebanyakan negeri ini dapat memahami apa yang dimaksud oleh DR.I Wibowo tersebut.Bagaimana dan seperti apa rayuan maut tersebut.
Pemahaman atas hal tersebut diperlukan agar masyarakat kebanyakan dapat mengantisipasi rayuan maut tersebut, dimana tujuannya adalah membuat pihak lain tunduk. Karena hard power maupun soft power-nya China itu tujuannya sama yaitu membuat pihak lain tunduk.
Tujuan China seperti ditulis dalam pemberitaan tersebut barangkali tak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh “kaum penjajah”, imperialis maupun kolonialis.
Untuk mengantisipasi tujuan kaum penjajah sepertinya tidak boleh tidak rakyat kebanyakan harus mengetahui apa yang termasuk atau dimaksud dengan soft power.Bagaimana bentuk atau wujudnya.
Jika rakyat kebanyakan negeri ini boleh disebut sebagai masyarakat dasar, maka sepertinya masyarakat dasar inilah yang perlu mendapat penguatan.Rakyat kuat negara kuat, demikian kira-kira pesan para bijak pendahulu.
Soft power ini sepertinya sangat berbahaya sebab masyarakat yang terkena pengaruhnya tidak merasa ditundukkan, “dijajah”.Yang barangkali sesuai dengan namanya “halus”.
Akan lain halnya bila penundukan itu dilakukan dengan hard power “senjata”.Apabila suatu negara membawa kekuatan bersenjata memasuki negara lain, maka secara pelak itu akan disebut dan dirasakan sebagai penjajah, padahal belum tentu demikian.
Masuknya kekuatan bersenjata suatu negara ke negara lain cenderung dicap sebagai penjajah padahal belum tentu.
Karena dimungkinkan masuknya kekuatan bersenjata itu justru membantu dan melindungi negara tersebut dari penjajahan melalui soft power, kekuatan lunak seperti penguasaan perekonomian suatu negara oleh negara lain.Melalui penguasaan perekonomian tersebut, para penjajah dengan soft power pula telah menciptakan konflik di negara tesebut antara rakyat dengan penguasa.Konflik mana pula dapat terbuka maupun tertutup.
Rakyat miskin, penyakitan, busung lapar hingga mati kelaparan sementara para penguasa (elit pejabat pemerintahan) hidup bermewah-mewah, pelesiran kemana-mana dengan berbagai alasan tugas negara.Barangkali ini boleh disebut sebagai konflik tertutup.
Pada berbagai tempat terjadi tawuran, mulai dari lempar batu hingga lempar amunisi dan bom.Rakyat bentrok dengan aparat pemerintah, bahkan terkadang sudah sulit membedakannya dengan apa yang disebut dengan perang.
Konflik seperti tersebut sesungguhnya merupakan akibat darisoft power yang sudah menguasai suatu kelompok masyarakat yang dimaksudkan untuk melemahkan, “menghabisi” suatu kelompok masyarakat untuk kemudian membuat masyarakat tersebut dan atau wilayahnya tunduk dibawah kekuasaan pengguna soft power tersebut.
Dalam konflik diatas, maka yang menadapat julukan sebagai penjajah adalah yang membawa kekuatan bersenjata, bukan yang membawa soft power.
Inilah barangkali kepintaran suatu kelompok masyarakat penjajah masa kini.Tidak menggunakan kekuatan bersenjata, melainkan menggunakan soft power.Meskipun demikian, pengguna soft power bukan berarti tidak memperkuat persenjataannya.Hasil dari penggunaan soft power pada akhirnya sebagian disisihkan untuk memperkuat persejataannya, hard power-nya
Pada era ini sepertinya kaum imperial ataupun colonial tidak lagi dengan cara kekuatan persenjataan untuk menundukkan suatu negara setidak-tidaknya tidak mendahulukan kekuatan senjata, melainkan dengan soft power.Inilah barangkali kepintaran penjajah modern, ultra colonialism imperialism, jika tidak boleh menyebutnya sebagai kelicikan.
Barangkali penjajahan soft power ini dapat terlihat dengan perubahan cara hidup suatu masyarakat, munculnya symbol-simbol yang berasal dari negara asing (pengguna soft power), penguasaan perekonomian dan lain-lain tanpa emmerlihatkan kekuatan senjata. Masyarakat kehilangan identitas diri, meninggalkan budaya asli (budaya tinggi).Pada akhirnya bermuara pada penundukan.
Pada banyak tempat di negeri ini banyak bermunculan aksara China baik berupa merek took atau usaha dagang lainnya.Namun sepertinya tidak mudah untuk menemukan merek toko atau usaha dagang lainnya dengan aksara jawa ataupun batak. Bak mie, bak so dimana-mana, tapi sulit menemukan Mie Sop atau Mie Daging. Padahal “bak” dalam bahasa China didominasi oleh pengertian “daging babi”.
Apakah peguasaan perekonomian negeri ini ada hubungannya dengan soft power yang dipergunakan oleh China sebagaimana disebut dalam pemberitaan tersebut barangkali perlu mendapat perhatian secara serius untuk disikapi secara bijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar