Proses amandemen terhadap UUD 1945 telah berlangsung sebanyak empat kali. Baik mengenai amandemen pertama maupun yang kedua hampir saja tidak seorangpun ahli tata negara memberi tanggapan yang serius.Dengan keadaan demikian, maka wajar saja masyarakat akar rumput tidak juga memberi respon yang serius.
Padahal jika diperhatikan secara jernih, amandemen pertama atas UUD 1945 sebenarnya tidak menghasilkan keadaan yang lebih baik, bahkan cenderung menambah masalah.Setidak-tidaknya amandemen pertama tersebut semakin membingungkan.
Tidak mustahil, jika suara yang menentang amandemen saat ini sebenarnya merupakan sikap yang timbul setelah melakukan analisa atas amandemen yang sudah berlansung selama tiga kali tersebut.
Penentangan terhadap amandemen ini juga bisa muncul karena masyarakat merasa bahwa amandemen tidak memberi konstribusi yang baik kepada masyarakat.Toh keadaan begitu-begitu saja, pejabatnya tetap korup, bahkan posisi negara Indonesia sebagai negara terkorup melejit mencapai peringkat tertinggi.
Seperti gayung bersambut, suara terpendam masyarakat berhasil ditangkap dan ditindaklajuti oleh anggota MPR. Maka wajar apabila menjelang amandemen keempat yang akan dilaksanakan pada sidang tahunan MPR yang akan datang, amandemen menjadi hangat diperbincangkan. Berkembang pro dan kontra. Pro dan kontra kali ini akan lebih agak menarik, karena suara penentang amandemenpun sudah didendangkan oleh anggota MPR. Dan lebig menarik karena konon anggota MPR yang menentang amandemen tidak sedikit jumlahnya.
Amin Aryoso dengan Gerakan Nurani Parlemen (GNP) tidak menghendaki adanya amandemen sebab amandemen itu sudah kebablasan. Menurut Aryoso, apa yang dilakukan MPR berkaitan dengan amandemen sudah mengarah ke revolusi bukan lagi reformasi. Konon, GNP sudah didukung kurang lebih 250 anggota MPR (Media Indonesia, Edisi Minggu, 21 April 2002.hal.2).
Salah satu alasan yang dikemukakan GNP adalah perubahan pasal 1 ayat (2). Pasal yang semula berbunyi, “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” berubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.
Perubahan pasal tersebut dianggap telah mengingkari pembukaan UUD 1945, terutama alinea keempat UUD 1945. Perubahan tersebut telah mengakibatkan MPR kehilangan hak konstitusionalnya.
Menurut Aryoso, perubahan pasal 1 ayat (2) itu telah menimbulkan problem konstitusi, bahkan melahirkan kontradiksi baik dengan Pembukaan UUD 1945 maupun dengan pasal berikutnya yakni dengan pasal 3. Dalam pasal 3 amandemen 1945, “MPR diberi kewenangan mengubah dan menetapkan UUD”.
Apa yang dikatakan oleh Aryoso tersebut lebih mendekati kebenaran. Karena konsekuensi juridis pasal 1 ayat (2) amandemen, maka yang berwenang merubah dan menetapkan UUD adalah rakyat, bukan MPR. Selanjutnya keberadaan MPR pun tidak diperlukan lagi. Segala sesuatu menyangkut kedaulatan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Padahal jika diperhatikan secara jernih, amandemen pertama atas UUD 1945 sebenarnya tidak menghasilkan keadaan yang lebih baik, bahkan cenderung menambah masalah.Setidak-tidaknya amandemen pertama tersebut semakin membingungkan.
Tidak mustahil, jika suara yang menentang amandemen saat ini sebenarnya merupakan sikap yang timbul setelah melakukan analisa atas amandemen yang sudah berlansung selama tiga kali tersebut.
Penentangan terhadap amandemen ini juga bisa muncul karena masyarakat merasa bahwa amandemen tidak memberi konstribusi yang baik kepada masyarakat.Toh keadaan begitu-begitu saja, pejabatnya tetap korup, bahkan posisi negara Indonesia sebagai negara terkorup melejit mencapai peringkat tertinggi.
Seperti gayung bersambut, suara terpendam masyarakat berhasil ditangkap dan ditindaklajuti oleh anggota MPR. Maka wajar apabila menjelang amandemen keempat yang akan dilaksanakan pada sidang tahunan MPR yang akan datang, amandemen menjadi hangat diperbincangkan. Berkembang pro dan kontra. Pro dan kontra kali ini akan lebih agak menarik, karena suara penentang amandemenpun sudah didendangkan oleh anggota MPR. Dan lebig menarik karena konon anggota MPR yang menentang amandemen tidak sedikit jumlahnya.
Amin Aryoso dengan Gerakan Nurani Parlemen (GNP) tidak menghendaki adanya amandemen sebab amandemen itu sudah kebablasan. Menurut Aryoso, apa yang dilakukan MPR berkaitan dengan amandemen sudah mengarah ke revolusi bukan lagi reformasi. Konon, GNP sudah didukung kurang lebih 250 anggota MPR (Media Indonesia, Edisi Minggu, 21 April 2002.hal.2).
Salah satu alasan yang dikemukakan GNP adalah perubahan pasal 1 ayat (2). Pasal yang semula berbunyi, “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” berubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.
Perubahan pasal tersebut dianggap telah mengingkari pembukaan UUD 1945, terutama alinea keempat UUD 1945. Perubahan tersebut telah mengakibatkan MPR kehilangan hak konstitusionalnya.
Menurut Aryoso, perubahan pasal 1 ayat (2) itu telah menimbulkan problem konstitusi, bahkan melahirkan kontradiksi baik dengan Pembukaan UUD 1945 maupun dengan pasal berikutnya yakni dengan pasal 3. Dalam pasal 3 amandemen 1945, “MPR diberi kewenangan mengubah dan menetapkan UUD”.
Apa yang dikatakan oleh Aryoso tersebut lebih mendekati kebenaran. Karena konsekuensi juridis pasal 1 ayat (2) amandemen, maka yang berwenang merubah dan menetapkan UUD adalah rakyat, bukan MPR. Selanjutnya keberadaan MPR pun tidak diperlukan lagi. Segala sesuatu menyangkut kedaulatan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana rakyat selaku pemegang kedaulatan melaksanakan kedaulatan itu. Hal ini tidak mendapat pengaturan lebih lanjut dalam amandemen UUD. Keadaan ini sangat membingungkan dan mengaburkan.
Jikalaupun UUD akan mengatur lebih lanjut secara terinci, prosedur pelaksanaan kedaulatan, maka dengan demikian UUD telah berubah menjadi UU.Dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak wajar dan sangat tidak logis serta kontradiktif dengan amandemen itu sendiri.
Angin yang menentang amandemen inipun berhembus dari luar lembaga MPR, tidak kurang, Roeslan Abdulgani tokoh angkatan 45 berujar, ”rakyat yang perutnya kosong ini tidak akan terselesaikan dengan menyodorkan sebuah konstitusi yang katanya hebat. Rakyat sekarang ini butuh penyelamatan secepatnya, butuh makan, butuh kesejahteraan, serta butuh rasa aman yang kini menjadi barang langka, bukan butuh amandemen UUD”.
Pendapat senada juga datang dari Forum Kajian Ilmiah Konstitusi (FKIK) yang dimotori oleh Prof.Usep Ranawijaya. Forum ini juga mempersoalkan amandemen UUD dan mengingatkan bahwa yang dilakukan oleh PAH I BP MPR bukan lagi melakukan amandemen, melainkan sudah merombak struktur dan system ketatanegaraan, bahkan sudah membuat UUD baru. Dan oleh karena itu, FKIK telah meminta agar proses amandemen dihentikan.
Apa yang dikemukakan oleh forum inipun lebih mendekati kebenaran.
Namun Ketua MPR, Amin Rais menilai mereka yang anti amandemen sebagai subversif. Menurut Amin Rais, bila amandemen UUD 1945 ditolak Indonesia akan kacau balau, bahkan kembali ke masa lalu. Artinya, presiden bisa dipilih tanpa batas waktu, bahkan seumur hidup, DPR hanya tukang stempel undang-undang yang dibuat oleh pemerintah, tidak ada mahkamah konstitusi, pasal HAM yang sudah bagus dihilangkan.
Apa yang dikemukakan oleh Amin Rais ini sepertinya lebih jauh dari kebenaran.
Dikatakan jauh dari kebenaran karena sesungguhnya pasal 7 UUD 1945 (tanpa amandemen) bukan berarti presiden bisa dipilih tanpa batas. Kata “kembali” dalam rumusan pasal 7, sebanarnya menurut hukumnya telah memberi batas.
Karena ilmu hukum telah menentukan metode untuk menentukan arti atau maksud suatu teks atau kata dalam pasal perundang-undangan yang dianggap kurang dipahami, atau dianggap tidak jelas, yakni dengan cara penafsiran (interpretasi). Dalam ilmu hukum dikenal beberapa jenis interpretasi yaitu penafsiran sejarah (historis), penafsiran tata bahasa (gramatikal), penafsiran sistematika, dan penafsiran analogi, serta argumentum contrario.
Dengan demikian, oleh karena yang menjadi persoalan dalam pasal 7 UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah kata “kembali”. Maka sesuai dengan metode interpretasi menurut ilmu hukum, maka seharusnya dipergunakan interpretasi gramatikal. Dengan interpretasi ini akan diketahui apakah kata kembali tidak mengandung unsur pembatas ?
Dalam tata bahasa Indonesia, kembali berarti ada suatu sebab yang terjadi sebelumnya sebagai aksi. Kembali berarti, balik ke tempat atau keadaan semula, balik ke tempat asal, dan berhenti di situ.
Jika masa jabatan 5 tahun pertama sudah berakhir, maka apabila dia kembali menjadi presiden, maka itu adalah selama 5 tahun seperti keadaan semula (untuk periode kedua), sehingga menjadi dua kali, dan cukup (berhenti) sampai disitu. Masa jabatan 5 tahun (untuk periode ketiga) bukanlah termasuk dalam pengertian kata “kembali”, tetapi itu sudah masuk dalam pengertian kata “lagi”, “berkali-kali”, atau “berulangkali”. Kembali mengandung unsur pembatas, sekali lagi (lihat KBBI, ed.II, hal 473).
Namun selama Soeharto berkuasa, kata kembali ditafsirkan dan dilaksanakan tidak menurut hukumnya, tetapi menurut selera dan kepentingan penguasa. Jadi, berulang-ulangnya Soeharto mejabat presiden RI bukanlah kesalahan UUD 1945 (tanpa amandemen), tetapi itu adalah pelanggaran terhadap pasal 7 UUD 1945 (tanpa amandemen). Pasal 7 UUD 1945 telah ditafsirkan dan dilaksanakan menjadi, “Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih lagi, berkali-kali dan atau berulang kali”
Jikalaupun sebahagian bangsa ini tidak pandai berbahasa Indonesia karena sudah lebih pintar berbahasa asing, sehingga pasal 7 UUD 1945 (tanpa amandemen) dianggap kurang jelas, maka cukup dan sebaiknya diadakan penjelasan pasal 7, sesuai dengan hukumnya. Tidak perlu dan tidak harus merubah pasalnya. Karena akibat hukum dari kedua perbuatan amandemen dan melakukan penjelasan, satu dengan yang lainnya adalah berbeda.
Apa yang dikatakan Amin Rais tentang, “presiden bisa dipilih tanpa batas, bahkan seumur hidup”, mungkin ada benarnya jika rumusan pasal 7 UUD 1945 (tanpa amandemen), ‘Masa jabatan Presiden adalah 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih lagi.
Padahal sangat jelas dan nyata, rumusan pasal 7 UUD 1945 (sebelum amandemen), tidak memakai kata “lagi” melainkan “kembali”, yakni “Masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Kata ‘lagi” dan “kembali” adalah dua kata yang mempunyai arti yang berbeda satu dengan yang lain.
Sehingga oleh karena itu, barangkali alasan Amin Rais mengatakan UUD 1945 (tanpa amandemen) tidak membatasi seseorang dipilih atau menjabat Presiden adalah karena Amin Rais sudah tidak faham dengan bahasa Indonesia, barangkali pula sudah lebih pintar berbahasa Inggris atau bahasa asing selain bahasa Indonesia.
Bila selama masa kekuasaan Soeharto, Amin Rais menganggap DPR hanya sebagai tukang stempel undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah, itupun bukanlah kesalahan UUD 1945 (tanpa amandeman).
Barangkali itu adalah akibat para anggota DPR itu kurang memahami tugas, fungsi, dan wewenangnya. Karena dalam pasal 20 ayat (2) dan pasal 21 ayat (1) UUD 1945 (tanpa amandemen), “DPR berhak menolak rancangan Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah dan berhak mengajukan rancangan Undang-undang”.
Demikianpun terhadap perlindungan HAM, UUD 1945 (tanpa amandemen) tidak demikian buruk. Pasal 27 UUD telah menjaminan persamaan kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum, dengan tidak ada kecualinya.
Malah amandemen pasal 27 lebih buruk dari sebelumnya dan sangat merugikan serta berbahaya bagi setiap warga negara. Amandemen pasal 27 “menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara dihadapan undang-undang”.
Pasal 27 UUD 1945 (sebelemum amandemen), menjamin persamaan kedudukan dihadapan hukum, sedangkan amandemen pasal 27 “menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara dihadapan undang-undang”. Apabila hukum dibandingkan dengan undang-undang, maka hukum mempunyai derajat dan kedudukan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan undang-undang.
Suatu undang-undang dimungkinkan tidak benar dan tidak adil barangkali dapat terjadi oleh karena kepentingan pada saat pembuatannya atau kualiatas intelektual dan moralitas para pembuatnya.Sedangkan hukum itu pasti benar dan pasti adil. Undang-undang dimungkinkan ketiggalan zaman sedangkan hukum tidak mungkin ketinggalan zaman.
Maka dalam system peradilan Indonesia, suatu undang-undang dapat saja tidak berarti dihadapan hakim, karena hakim tidak memutus perkara berdasarkan undang-undang melainkan berdasarkan hukum demi terwujudnya keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana ditentukan dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman. Keadaan ini adalah sejalan dengan system ketatanegaraan Indonesia yang memandang UUD 1945 itu sebagai konstitusi, hukum dasar, “grond recht”, bukan “grond wet”.
Sehingga dengan demikian jaminan hak azasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 (tanpa amandemen) adalah lebih baik dibandingkan UUD 1945 (setelah amandemen).
Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh Amin Rais tentang buruk atau tidak adanya jaminan HAM dalam UUD 1945 tanpa amandemen sepertinya jauh dari kebenaran.
Bahkan dengan amandemen pasal 27 UUD 1945, dapat saja suatu saat pemerintah atau negara merampas kepentingan hukum atau HAM warga negara dengan alasan kepentingan tersebut belum diatur dan belum dilindungi oleh undang-undang. Bahkan undang-undang sengaja membuat keadaan demikian karena pejabat-pejabat pembuat undang-undangnya sengaja mempersulit dan merugikan rakyat.
Begitupun tentang pasal 28 UUD 1945 (tanpa amandemen). telah menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Lagi-lagi, amandemen pasal 28 telah menimbulkan permasalahan dan menghambat proses hukum terhadap pelanggaran HAM. Dalam amandemen diberlakukan azas tidak berlaku surut. Dengan demikian, penegakan HAM akan menjadi kandas di pengadilan, karena hampir semua kejahatan yang diduga sebagai pelanggaran HAM dilakukan sebelum UU HAM dibuat dan diundangkan.
Dengan demikian apa yang dikemukakan Amin Rais ataupun pihak-pihak yang pro amandemen UUD 1945 masih jauh dari kebenaran. Pro amandemen, sepertinya terpengaruh dengan pikiran yang mempersalahkan UUD 1945 atas penyelenggaraan negara selama ini (baca : krisis), bukan mempersalahkan pelaksanaanya. Secara politis, pro amandemen patut diduga sebagai perlindungan terhadap mantan-mantan penguasa.
Oleh karena itu, sepertinya tuduhan atau anggapan Amin Rais terhadap yang anti amandemen sebagai subversib sangat tidak logis. Bahkan apabila dibandingkan dan dihubungkan dengan subversi, sepertinya pro amandemen lebih dekat dekat subveri darpada anti amandemen.
Terlepas dari pro dan kontra tentang amandemen UUD 1945. Tidak perlu khawatir dengan reformasi, atau bahkan tidak perlu khawatir dengan revolusi. Sepanjang hal itu baik dan sesuai dengan hukum dan mewujudkan keadilan untuk semua, maka apakah itu reformasi atau revolusi bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan atau dipermasalahkan.
Memperhatikan amandemen UUD1945 (baik amandemen pertama, kedua, ketiga atau keempat), maka jika itu dikatakan amandemen maka lebih layak jika disebut amandemen yang sesat atawa disesatkan. Dan apabila itu disebut sebagai tuntutan reformasi, maka lebih layak disebut sebagai reformasi yang sesat atauwa disesatkan.
Merujuk pada pendapat Prof.Dr.Sri Soemantri, SH., Guru besar Hukum Tata Negara Univesitas Padjajaran, “membuat UUD itu tidak gampang, karena membutuhkan ketenangan dan kemampuan yang mendalam soal konstitusi”, maka sebaiknya kembali saja ke UUD 1945 tanpa amandemen, menunggu situasi dan kondisi yang lebih kondusif”.
Apabila ditelaah secara jernih dan mendalam, maka amandemen UUD 1945 bertentangan dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Salah satu contoh yakni pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota secara langsung adalah suatu keadaan yang bertentangan dengan sila keempat dari Pancasila.
Sebaiknya seluruh potensi bangsa ini berkonsentrasi melakukan koreksi atas segala tindakan mantan penguasa pada saat berkuasa. Apakah tindakan itu sesuai dengan UUD 1945 atau melanggar UUD 1945 dan selanjutnya meminta pertangungan jawab secara hukum. Adili mantan pejabat dan kroni-kroninya, kembalikan harta negara (harta rakyat) yang telah dikorupsi. Inilah esensi dari perjuangan dan yang dibutuhkan rakyat kebanyakan negari ini demi terwujudnya rakyat adil makmur sentausa sebagaimana diperjuangkan para pahlawan, pejuang dan pendiri Negara ini, entah itu sekarang itu disebut reformasi, atau entah apa namanya yang perjuangkan. Bukan amandemen.
Jika bukan untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, seperti rakyat adil makmur sentausa, entah itu reformasi entah apa namanya, maka sebaik dan seharusnya dihentikan.
Sebaiknya seluruh potensi bangsa ini berkonsentrasi melakukan koreksi atas segala tindakan mantan penguasa pada saat berkuasa. Apakah tindakan itu sesuai dengan UUD 1945 atau melanggar UUD 1945 dan selanjutnya meminta pertangungan jawab secara hukum. Adili mantan pejabat dan kroni-kroninya, kembalikan harta negara (harta rakyat) yang telah dikorupsi. Inilah esensi dari perjuangan dan yang dibutuhkan rakyat kebanyakan negari ini demi terwujudnya rakyat adil makmur sentausa sebagaimana diperjuangkan para pahlawan, pejuang dan pendiri Negara ini, entah itu sekarang itu disebut reformasi, atau entah apa namanya yang perjuangkan. Bukan amandemen.
Jika bukan untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, seperti rakyat adil makmur sentausa, entah itu reformasi entah apa namanya, maka sebaik dan seharusnya dihentikan.
Untuk itu antara lain perlu agar Kekuasaan Mahkamah Agung RI sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam pasal 24 UUD 1945 perlu dimaksimalkan lewat Undang-undang.
Periksa UU Tentang Mahkamah Agung, UU Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, apakah UU tersebut telah sesuai dengan semangat, jiwa dan maksud UUD 1945.
Sepertinya selama ini, Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk hanya untuk mengadili objek yang sangat terbatas (keputusan individual, final dan sangat terikat dengan waktu) dan putusannya tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Malah pelaksanaan putusannya pada akhirnya tergantung kepada presiden. Ini bertentangan dengan pasal 24 UUD 1945 tanpa amandemen.
Peradilan tata usaha dikondisikan sedemikian rupa agar identik dengan “macan ompong”. Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk, “hanya sekedar penghibur” rakyat dan agar di mata internasional, Indonesia memenuhi syarat sebagai negara hukum, agar tidak disebut Negara barbar atau pemerintahan yang mendholimi rakyatnya.
Pengadilan Tata Usaha Negara perlu diberi kekuasaan eksekusi, sehingga demi tegaknya hukum dan kepastian hukum pelaksanaan putusannya dapat dipaksakan sesuai dengan salah satu sifat dari hukum itu sendiri, memaksa. Dan untuk hal ini tidak perlu mengamandemen UUD 1945, cukup dengan melakukan perubahan atas UU Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Untuk tingkat paling tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara pada tingkat Mahkamah Agung RI perlu diberi wewenang untuk menguji segala tindakan dan kebijakan para pejabat tinggi (seperti Lembaga Kepresidenan termasuk kabinet, MPR, DPR, GUBERNUR, BUPATI) dan para mantan pejabatnya dalam rangka penyelenggaraan negara (termasuk menguji suatu Undang-undang bahkan menguji Tap MPR terhadap UUD 1945) pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan kata lain pada tingkat dan dalam lingkungan Mahkamah Agung RI perlu dibentuk semacam Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi itu harus didalam lingkungan Mahkamah Agung RI bukan terpisah dan berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung RI seperti saat ini.
Adanya Mahkamah Konstitusi diluar Mahkamah Agung RI bertentangan dengan pasal pasal 24 UUD 1945 tanpa amandemen. Dan tentu itu bertentangan dari sifat hukum itu sendiri.Hukum itu harus satu, tidak dua, tidak pula doble streo, jika boleh disebut keadaan itu identik dengan "ular berkepala dua".
Dan untuk membentuk Mahkamah Konstitusi pada lingkungan Mahkamah Agung RI tidak perlu melakukan amandemen UUD 1945, namun cukup melakukan perubahan (amandemen) UU Tentang Pengadilan Tatas Usaha Negara atau UU Tentang Mahkamah Agung.
Dengan dasar putusan Mahkamah tersebut, harta kekayaan mantan presiden, mantan anggota MPR, mantan anggota DPR, mantan Jaksa Agung, mantan Kapolri, mantan Menteri dirampas untuk negara.
Hal inilah yang sangat perlu dan mendesak diatur dalam undang-undang organik sebagai pelaksanaan UUD. Lagi-lagi rakyat bukan butuh amandemen !!!!
Selain itu, amandemen ke I, amandemen ke II maupun amandemen ke III hingga amandemen ke-empat tidak dan belum memberi konstribusi bagi rakyat. Bahkan amandemen telah menambah masalah, khususnya peradilan atas dugaan pelanggaran HAM saat ini. UU tentang HAM akan dihadang oleh UUD 1945 setelah amandemen. Dengan demikian para terdakwa pelanggar HAM dapat dipastikan tidak akan dapat dihukum atas dasar UU Tentang HAM.
Sesungguhnya, dengan memperhatikan situasi dan kondisi bangsa dan negara saat ini, maka sangat mendesak adanya sebuah otoritas untuk mengadili mantan penguasa atas segala tindakan dan atau kebijakan yang dilakukannya dalam rangka penyelenggaraan negara yang diduga bertentangan dengan UUD 1945 serta diduga sebagai sebab terpuruknya bangsa ini dalam krisis terutama dalam bidang sosial ekonomi.
Dan apabila diperhatikan secara saksama, amandemen UUD 1945 sepertinya merupakan perbuatan memebodohi rakyat, mengaburkan kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, antara lain yang perlu dilakukan adalah membentuk Mahkamah Konstitusi di lingkungan Mahkamah Agung yang mempunyai wewenang pada tingkat pertama dan terakhir untuk mengadili, mantan penguasa dengan segala bentuk tindakan dan kebijakannya dalam rangka penyelenggaraan negara. Mengacu dan berpedoman pada Aturan Peralihan pasal 2 UUD 1945, dapat dipergunakan pasal 104 UUD Sementara 1950 atau pasal 148 Konstitusi RIS, sehingga Mahkamah ini merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir.
Untuk itu, sekali lagi sebaiknya kembali saja ke UUD 1945 tanpa amandemen sebelum segala sesuatunya lebih kacau.
Segeralah kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen dan laksanakan sesuai semangat dan jiwanya.
Insya Allah dengan demikian keadaan akan lebih baik, rakyat adil makmur dan sentausa.
Insya Allah, Raya lah Indonesia karena sepertinya harusnya demikian.
Insya Allah.
AMANDEMEN BATAL DEMI HUKUM
BalasHapusKupasan yang menarik untuk ditelaah dan dipelajari lebih lanjut
BalasHapus